Terpana

Cerbung Memori Perempuan Bagian ke-3

Lelaki itu masih memandangi wajah Nina. Ia menghirup senyum Nina yang nampak sangat cantik. Ah, perempuan orgasme seratus kali lebih cantik dari biasanya. Nina membuka mata. Ia terenyuh dan sempat ingin menangis. Ini orgasme pertamanya setelah bertualang kepada banyak pelukan.

Dan lelaki itu kini menatapnya dengan penuh kasih. Meski Nina tak tahu apakah tatapan itu tulus atau hanya cara lelaki meminta kepuasan. Nina tak peduli. Kini yang terdengar dalam kepalanya adalah seruan-seruan untuk memuaskan lelaki asing itu.

Maka Nina meraih wajah itu, membawa bibir milik lelaki itu yang tebal pada bibirnya yang masih merekah merah. Dihirupnya bibir itu dalam-dalam. Dibalikkannya kepala lelaki itu, dan tubuh lelaki itu pun turut bergerak hinggi kini Nina berada di atasnya.

Nina menghabisi bibir itu, melumatnya, menjelajahi mulut itu dan meliuk-liukkan lidahnya, bersama-sama mengajak lidah milik lelaki itu berdansa. Tangan Nina bergerak dari mulai wajah lelaki itu, lalu turun ke dada, perut, hingga daging keras dan panjang di antara paha lelaki itu.

Dibelainya daging itu sembari mulutnya masih menjelajahi mulut lelaki itu. Daging itu perlahan mulai mengeras. Nina terus memainkan tangannya di sana. Seluruh jari kanan Nina mencengkram daging panjang dan besar itu, bergerak-gerak dari atas ke bawah. Semakin cepat, semakin cepat. Lelaki itu menguatkan ciumannya. Tangannya meremas rambut Nina.

Tak tahan, lelaki itu melepaskan ciumannya, menatap Nina penuh harap. Nina mengerti isyarat yang diberikan lelaki itu. Maka ia menurunkan wajahnya, lanjut menjilati leher lelaki itu, menciumi puting dadanya yang mungil, menggigit bagian perutnya yang menonjolkan otot-otot keras.

Nina tiba di daging yang panjang dan besar itu. Matanya buas. Tapi ia berusaha tenang. Mula-mula dihisapnya dua gundukan daging bulat yang menyangga penis itu. Dikulumnya dua daging yang menyerupai bulat telur itu. Ia kulum lama-lama. Terkadang dijilatinya, digigitnya permukaan kulit telur itu lembut-lembut. Lalu kembali menjilatinya.

Nina lantas menggerakkan lidahnya yang semula menjuluri dua telur itu, lidahnya kemudian menaiki daging keras yang kini berdiri tinggi seperti batang pohon. Lidah Nina terus menaiki batang itu. Hingga sampai di ujungnya. Nina sudah tak sabar. Ia masukkan penis yang telah mengeras itu ke dalam mulutnya. Kepala Nina bergerak-gerak ke atas, ke bawah, hingga mulutnya menelan seluruh daging panjang itu.

Terdengar erangan dari mulut lelaki itu. Tangannya yang panjang membelai-belai kepala Nina yang terus bergerak ke atas, ke bawah: mengulum, menghisap, lalu melepaskan penis itu dari mulutnya untuk kemudian menjilatinya. Begitu dan begitu terus. Semakin cepat, semakin lelaki itu tak mampu menahannya. Nina tak kunjung lelah, mulutnya semakin lincah bergerak, lidahnya ikut bermain sesekali.

Lelaki itu meminta Nina untuk berhenti, tapi Nina tak menghiraukannya.

“Aku tak tahan, sayang… sebentar lagi mau keluar!” Lelaki itu mengangkat kepala Nina dari penisnya.

Nina tersenyum menggoda, “Keluarkan padaku, sayang, aku ingin menerimanya!” Nina berkata demikian dan kembali memasukkan penis itu ke dalam mulutnya. Mengulumnya bulat-bulat. Mulutnya semakin lincah, cepat, mengulum, melepas, mengulum, melepas…

Lelaki itu mengerang kian kencang… “Aahhhhhh……” teriaknya. Bersamaan dengan itu cairan putih kental memuncrat, masuk ke dalam relung-relung mulut Nina.

Nina menerima semua cairan itu dengan nikmat, ia menghisap penis itu seperti ingin menghabiskan semua cairan yang keluar dari sana.

Hingga lelaki itu terkulai, lalu dengan lembut meraih kepala Nina, dan membawa bibir perempuan itu pada bibirnya. Mereka saling memagut, lebih sabar dan penuh kasih.

******

Mereka berpeluk-tindihan. Lelaki itu tak membiarkan Nina turun dari tubuhnya. Ia membawa kepala Nina ke dadanya. Dibiarkannya kepala mungil Nina hanyut dalam dada yang bidang itu.

Nina memejamkan matanya, meresapi detak jantung lelaki itu yang telah melunak. Sesekali diciuminya dada lelaki itu. Nina menikmati dada yang bidang, tiada bulu-bulu lebat yang bisa menggelitik bibirnya di sana. Sempurna seperti milik lelaki ini. Dadanya mulus licin, membuat Nina betah memainkan bibirnya di sana.

Lelaki itu menikmati sentuhan Nina. Dielus-elusnya rambut hitam lebat milik Nina.

“Kau sungguh sempurna, Nina. Kecuali, …“ lelaki itu diam beberapa saat. Lalu tangannya mengangkat kepala Nina hingga mata mereka bisa bertemu.

“Kecuali?” Tanya Nina penuh khawatir. Ia tak biasa dengan ketaksempurnaan.

“Kecuali namamu.” Gumam lelaki itu sembari tersenyum nakal.

Nina mengernyitkan dahinya. “Namaku? Kenapa dengan namaku?”

“Terdengar tak cocok saja dengan dirimu. Kupikir, sosok sepertimu tak semestinya memiliki nama yang mengingatkan pada kenanagan masa kanak-kanak. Kamu ingat kan, “ Nina bobo, oh, Nina bobo… kalau tidak bobo, digigit nyamuk..” Nina tergelak mendengar nyanyian itu. “Iya juga, ya,” batinnya.

“Aku membayangkan namamu Venus atau Aphrodite.” Terang lelaki itu. Senyumnya menggoda Nina yang nampak terganggu dan mulai cemberut.

“Siapa mereka?” Nina tak pernah mendengar kedua nama itu seumur hidupnya.

“Mereka adalah dewi-dewi mengagumkan yang dipercayai orang-orang Yunani kuno.” Lelaki itu berkata lembut. Tak terdengar hasrat untuk menggurui atau mengejek Nina dalam suaranya.

“Hm, mungkin aku harus mulai mempelajari tentang mereka.” Gumam Nina. Ia suka dengan cara lelaki itu berkomunikasi. Ini bukan hanya pertama kalinya ia mengalami orgasme, tetapi pertama kalinya juga ia ingin berbincang-bincang cukup lama dengan lelaki yang ditidurinya.

Lelaki itu menggulingkan tubuh Nina, lantas menghimpitnya dengan tubuhnya. Dipandanginya wajah Nina yang berbinar. Oh, bibir perempuan ini seperti kue terenak yang membuatnya ingin memakannya lagi dan lagi. Dihisapnya bibir itu sekali lagi. Nina tak mampu menolak. Ia senang dengan ketiba-tibaan lelaki itu. Mereka kembali berciuman. Panas. Menggelegak.

Nina mulai berani. Dilepaskannya ciuman lelaki itu. “Mari habiskan, sayang!” Diarahkannya kepala lelaki itu ke bawah, tempat vagina miliknya ternganga menunggu untuk kembali disentuh.

Lelaki itu menurut. Ia memutar posisi tubuhnya. Kini kepalanya menghadap vagina Nina, tetapi sebelum ia menyentuhnya, ia mengangkat pinggul Nina lalu membaliknya hingga berda di atas kepalanya. Lalu tangan lelaki itu mengulur daging panjang yang terkulai di antara pahanya dan memasukkan daging itu ke dalam mulut Nina. Nina menyambut daging lembut itu, mengulumnya. Kepala Nina bergerak-gerak, maju-mundur.

Lelaki itu mulai menggumuli vagina Nina. Mula-mula ia menjilati klitorisnya, lembut, lidahnya bergoyang-goyang menikmati klitoris itu. Terus, lagi dan lagi. Perlahan lidah itu bergerak, merangkak mendekati liang hitam yang sempit. Di lubang itu lidah sang lelaki bermain-main. Segala penjuru dijilatinya. Sementara ia merasakan penisnya sudah semakin mengeras sempurna.

Nina berhenti mengulum penis itu. Bukan karena lelah, tetapi ia tak sanggup menahan nikmat ketika lidah lelaki itu semakin cepat dan beringas di dalam vaginanya. Ia merasakan cairan hangat keluar berkali-kali dari sana.

Lelaki itu membalikkan posisinya. Ia tak lagi terlentang menyangga vagina Nina. Kini mulutnya berada di atas vagina itu. Meski Nina telah berhenti mengulum penisnya, lelaki itu tahu, belum saatnya menyerahkan penis miliknya pada liang vagina di hadapannya. Ia ingin memuaskan Nina lewat permainan lidahnya.

Dijilatinya lagi seluruh detail vagina itu. Ia memasukkan lidahnya ke dalam liang vagina itu dan membiarkan lidah itu bergerak-gerak di dalamnya. Nina semakin terkejang-kejang. Diremasnya rambut lelaki itu. Ditekannya kepala lelaki itu kuat-kuat hingga seluruh lidahnya menancap di dalam liang vagina itu. Tak sampai di sana, lelaki itu sungguh luar biasa! Ketika lidahnya tertancap dan bermain di dalam liang vagina Nina, jari tangannya pun ikut memainkan klitoris dan puting Nina secara bersamaan.

Nina melayang… terekstasi oleh kenikmatan yang tiada dua…

Akhirnya lelaki itu selesai. Ia mengangkat tubuh Nina hingga berada dalam pangkuannya. Dibimbingnya tangan Nina pada penisnya yang telah mengeras. Nina menggenggam penis itu, memasukkannya pada liang vagina yang kini terbuka sempurna, “Aaahhh….” Mereka melenguh bersamaan.

Nina menggerak-gerakkan tubuhnya, penis itu menancap dalam, semakin dalam, semakin dalam…. Tangan lelaki itu meremas bokong Nina, menggoyang-goyangkannya maju mundur. Mereka bergerak semakin dalam, semakin cepat.

Lelaki itu tak tahan, ia mendorong tubuh Nina hingga terlentang, lantas menindihkan seluruh badannya di atas badan Nina. Kini bokong lelaki itu yang terus bergerak. Ia terus menancapkan penisnya ke dalam vagina Nina, semakin cepat, kencang, lagi dan lagi, semakin kuat…. Kadang gerak lelaki itu melambat, dihujamkannya kuat-kuat penisnya, lalu digoyangkannya di dalam vagina Nina, hingga perempuan itu mengerang semakin kencang dan mulai meracau.

Melihat Nina demikian, lelaki itu menancapkan senjatanya semakin dalam dan menggoyang-goyangkannya lincah. Nina terus saja mengerang… hingga lelaki itu merasakan cairan dari penisnya akan segera muncrat, ia menusukkannya lebih dalam, bibirnya memagut bibir Nina kuat-kuat, lalu, “Aaahhhhhhhhhhh….” mereka melepas ciuman dan berteriak serentak…

Nina membawa pantat lelaki itu hingga melekat lebih dalam di vaginanya, lelaki itu pun mendorong bagian bawah tubuhnya ke dalam tubuh bawah Nina kuat-kuat… mereka melepaskan semuanya, hingga puncaknya, lalu kembali berteriak, melenguh, dan saling memagut mesra. Mereka kembali berciuman lembut, berpelukan dan saling membagi senyum kepuasan.

****

Mereka berpisah setelah tertidur cukup lama.

“Ini, simpanlah kartu namaku. Kapan pun kamu ingin bertemu, teleponlah aku.”

Lelaki itu menaruh kartu nama di atas segepok uang seratus ribuan. Nina memandangi dua macam benda kertas yang tergeletak di atas meja rias itu. Matanya sedikit sayu. Dibacanya nama yang tertera di kartu itu, “Keynes…” ia tak mampu membaca nama belakang lelaki itu karena tertulis dalam kata yang sulit diucapkannya.

Lelaki itu tersenyum melihat Nina kesulitan mengeja nama lengkapnya. “Cukup Keynes saja..,” katanya. Ia seperti berusaha menenangkan Nina, bahwa tak apa-apa bila ejaan Inggris terlalu sulit untuk diucapkannya. Tak usah malu. Kira-kira, itulah yang ingin ditekankan Keynes.

Nina menatap Keynes sekali lagi. Kali ini matanya terlihat sedih.

“Kamu tidak senang?” tebak lelaki itu.

Nina menggeleng. “Tidak. Hanya saja, ini pertama kalinya aku merasa sedih berpisah dengan pelanggan. Dan…”

Aku semakin merasa sedih karena menyadari kalau kamu hanyalah pelanggan,” yang satu ini tak ia suarakan.

“Dan…?” tanya lelaki itu.

“Ah, sudahlah.” Nina beranjak dari kasur lalu merangkul lelaki itu.

“Terima kasih,” ucapnya sembari melepas pelukan lantas mengecup pipi lelaki itu.

“Terima kasih juga kepadamu.”

Lelaki itu membalas kecupan Nina pada bibirnya.

“Senang bercinta denganmu, Nina.”

Ia lalu pergi meninggalkan Nina sendirian di kamar itu.

*****

One thought on “Terpana

Leave a comment